Perhatian pemerintah, dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup dirasa kurang. Seperti halnya pencemaran air di sepanjang aliran sungai Surabaya. Manajer Ecological Observation and Wetlands Observation Ndaru Setiorini mengatakan, pencemaran air di sepanjang aliran sungai Surabaya, dalam kondisi mengkhawatirkan. Bahkan, sungai yang airnya dikonsumsi warga Surabaya ini dinyatakan sangat tidak layak untuk diminum atau digunakan. “ Karena itulah mengapa Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, memberikan fatwa haram bagi sungai Surabaya,” ujarnya.
Tingkat pencemaran tersebut, ujar Ndaru, ditambah dengan minimnya tingkat kesadaran para pengusaha dalam membuang limbah. Berdasarkan catatan yang ada dari 600 industri di sepanjang aliran sungai, hanya 60 industri saja, atau sekitar 10 % yang memenuhi syarat dalam pengolahan limbah.
“ Dan akibat pencemaran ini, mata air di sungai Brantas yang berjumlah 102 orang, kini hanya tinggal 56 saja. Coba bayangkan saja, apa jadinya bila jumlah mata air tersebut semakin menipis,” tandasnya.
Ndaru menuturkan, ada beberapa hal yang menjadi penyebab tingginya pencemaran lingkungan di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Yaitu minimnya anggaran yang disediakan dalam APBD, yakni 1% saja. Selain itu, pemerintah tidak memiliki langkah tegas dalam menindak para pengusaha nakal itu.
“ Dari tahun 2000 sejak Ecoton melakukan penelitian, para pengusaha yang melakukan pelanggaran, ya itu-itu saja. Terus apa yang dilakukan pemerintah? ” tanya Ndaru penuh semangat.
Selain itu, Raperda yang diterbitkan oleh pemerintah, dianggap belum mampu untuk memerangi pencemaran lingkungan. Dalam Raperda tersebut, pemerintah belum menunjukkan keseriusan untuk mengatasi pencemaran yang selama ini dilakukan oleh industri di sekitar kali Surabaya. Bahkan, keberadaan Raperda itu mundur sebab keberadaan Perda tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya, dimana peraturan di atasnya lebih tegas tapi Raperda yang disahkan tersebut ternyata lebih lunak.
Ndaru menjelaskan, untuk meminimalkan tingkat pencemaran lingkungan hidup di kota Surabaya, Ecoton telah menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok industri, pendidikan dan pemerintah. Pihaknya juga meminta kepada pemerintah daerah, untuk segera merelokasi pabrik yang tergolong memiliki limbah terparah. Selain itu, Ecoton melakukan gugatan kepada gubernur Jawa Timur, agar pemerintah segera menghitung kapasitas sungai dalam menampung limbah pabrik.
Ia berharap, dengan langkah-langkah tersebut, pencemaran lingkungan yang terjadi di sepanjang aliran sungai Brantas, Kalimas dan Surabaya, bisa diminimalkan. Bila tidak, mungkin dalam 5 – 10 tahun kedepan, warga kota Surabaya, tidak akan bisa minum air yang selama ini menjadi sumber pokok kehidupan. (tyo)
0 komentar:
Posting Komentar